Gerakan Anti-Kolonialisme Belanda sebagai Bentuk Perjuangan Nasionalisme Cina di Indonesia

Nasionalisme Cina muncul pada era Dr. Sun Yat Sen, seorang Republikan yang dijuluki bapak Cina Modern. Falsafah politik Sun Yat Sen yang dikenal dengan San Min Chu atau Tiga Prinsip Dasar Rakyat yaitu Nasionalisme, Demokrasi, dan Kemakmuran Rakyat. Nasionalisme Cina pada awalnya diarahkan kepada penggulingan kekuasaan Manchu dan mengakhiri hegemoni asing atas Cina. Oleh karena itu, Sun Yat Sen mengatakan bahwa Cina harus tumbuh menjadi kekuatan besar serta mampu menyebarkan nilai-nilai Cina keseluruh dunia. Sehingga, muncul rasa nasionalisme di Cina membuat para penduduknya bermigrasi ke negara-negara tetangga untuk menyebarkan ajaran tersebut, memperkuat di sektor perekonomian, mengajak konsolidasi lagi ke negara-negara sahabat,dan terlebih dengan kekacauan yang ditimbulkan pada saat perang Candu.

Pada saat kedatangan Cheng Ho, sudah banyak terdapat etnis Tionghoa di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Pada akhir masa Dinasti Ming dan awal Dinasti Ching, jumlah imigran etnis Tionghoa yang datang ke Nusantara semakin bertambah. Hal ini disebabkan adanya penyerangan bangsa Manchu terhadap Dinasti Ming sehingga banyak penduduk Cina yang bermigrasi untuk menghindari peperangan. Para perantau kebanyakan berasal dari provinsi Cina Selatan, seperti Kwangtung, Fukien, Kwangsi, dan Yunan. Para perantau tidak berasal dari satu suku bangsa, melainkan paling dikit delapan suku bangsa dengan bahasa yang berbeda-beda. Orang Cina di Indonesia sebagian berasal dari empat suku bangsa, yaitu Hokkien, Hakka, Tiu-Chiu, dan orang kota Kanton.

 

Antara Kolonialisme dan Orang Cina

Pemerintah Hindia Belanda menggunakan sistem politik apartheid, yang membagi penduduk menjadi tiga golongan: golongan Eropa (Belanda), Timur Asing (Cina, Arab, India), dan golongan Bumiputra. Sistem ini mengisolasi setiap golongan penduduk guna meminimalisir adanya aktivitas bersama. Setiap golongan penduduk diharuskan tinggal di kampung-kampung sendiri. Pola pemukiman tersebut mengakibatkan timbulnya penetapan sistem wilayah atau wijkenstelsel. Selain itu orang-orang Cina yang ingin berpergian keluar pemukiman mereka diharuskan membawa surat izin yang membatasi ruang gerak mereka atau passenstelsel.

Pada awalnya wijkenstelsel dan passenstelsel bukanlah masalah yang berarti bagi orang Tionghoa karena peraturan tersebut tidak berlaku bagi para pemegang pacht dan para pegawainya. Pacht sendiri mempunyai pengertian sebagai kontrak pengelolaan gerbang pajak jalan, rumah candu, dan rumah gadai yang lazim diberikan pemerintah kolonial Belanda kepada orang Tionghoa. Peraturan ini segara memicu reaksi marah dari orang-orang Tionghoa ketika pemerintah kolonial Belanda menghapus peraturan tersebut. Dihapuskan nya Pacht pada akhir abad ke-19 mempersempit lahan pekerjaan di bidang perdagangan bagi orang-orang Cina. Dengan demikian orang-orang Tionghoa menjadi sangat dirugikan oleh kebijakan wijkenstelsel dan passenstelsel.

Orang-orang Tionghoa juga mendapatkan perlakukan hukum dan peradilan yang diskriminatif. Dalam perkara kriminal, orang Tionghoa yang tertuduh, harus diadili di landraad dan statusnya disamakan dengan kaum pribumi (geligjkgesteld met de Inlanders). Dalam perkara sipil, yang berkaitan dengan soal perdagangan, hutang, dan harta warisan, peradilan orang Tionghoa ditangani Raad Van Justitie, yaitu peradilan orang Eropa, terlebih sejak tahun 1848 hukum dagang Hindia Belanda memasukkan orang Tionghoa dalam kitab undang-undang.

Dari ketidakpuasan kebijakan itu dengan rasa nasionalisme yang mereka tanamkan dari para leluhurnya, orang Tionghoa menimbulkan pergerakan orang-orang Tionghoa pada awal abad ke-20. Tuntutan pertama mereka adalah mengakhiri wijkenstelsel dan passenstelsel. Karena kedua kebijakan tersebut merupakan penghalang bagi kebebasan orang Tionghoa untuk bergerak terutama bagi mereka yang berdagang. Pada saat yang bersamaan, ketika peraturan pemerintah Hinda Belanda semakin ketat, Cina mulai menaruh perhatian terhadap orang-orang Tionghoa di perantauan. Pada tahun 1892 Kaisar Cina membicarakan soal emansipasi dari orang-orang Tionghoa di Hindia dengan pemerintah Belanda. Contoh dari perhatian Cina terhadap warganya di perantauan antara lain, pengiriman kapal-kapal perang Cina dengan seorang duta, pengiriman inspektur pengajar, pemberian bantuan kepada sekolah-sekolah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), serta pemberian kemungkinan untuk belajar di Cina. Di tahun-tahun inilah nasionalisme Cina menyebar ke seluruh Asia Tenggar, termasuk Hindia Belanda.

Nasionalisme Cina: Pembentukan THHK di Batavia dan Surabaya

Tonggak awal munculnya nasionalisme Cina adalah dengan didirikannya Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) atau perkumpulan Tionghoa di Batavia oleh orang-orang Tionghoa berpendidikan Barat. Perlakuan hukum serta peradilan yang diskriminatif oleh pemerintah Kolonial Belanda telah membangkitkan kesadaran nasional di kalangan etnis Tionghoa di Indonesia. Kunci untuk meningkatkan posisi orang Tionghoa adalah kemajuan dan perlindungan negara. Gerakan nasionalisme Tionghoa ini menuntut persamaan hak antara orang-orang Tionghoa dan Belanda.

Organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) berdiri di sebuah rumah di Jalan Patekoan, Batavia, yang dihadiri oleh 20 orang peserta. Organisasi ini dipimpin oleh seorang yang bernama Phoa Keng Hek. THHK juga merupakan organisasi sosial yang biasanya digunakan untuk sarana berdiskusi dan bertukar pikiran untuk membahas masalah adat-istiadat serta memajukan pendidikan dan kebudayaan masyarakat Tionghoa sesuai dengan ajaran Kong Hu Cu. Untuk mempelajari ajaran Kong Hu Cu, diperlukan bahasa Tionghoa sehingga THHK mulai mendirikan sekolah-sekolah yang mengajarkan bahasa Tionghoa.

Setahun setelah berdirinya organisasi THHK, pada tanggal 17 Maret 1901, didirikan sekolah THHK yang juga berada di jalan Patekoan. Oleh karena itu, sekolah tersebut dikenal dengan Patekoan Tiong Hoa Hwee Koan atau Pa Hoa.  Sekolah ini hadir untuk memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak dari keturunan Tionghoa. Pa Hoa, merupakan sekolah swasta pertama yang didirikan di Hindia Belanda dengan menggunakan metode pengajaran modern.

Sistem pertama yang digunakan oleh THHK pada tahun 1901 sampai 1908  adalah sekolah dsasar yang memiliki durasi selama enam tahun. Tujuan dari sekolah dasar ini adalah untuk menyiapkan anak menjadi warga yang sehat, aktif menggunakan pikiran, dan mengembangkan kemampuan pembawaannya. Kurikulum yang digunakan Pa Hoa pada tahun 17 Maret 1901 sama dengan kurikulum yang ada di Jepang dan Tiongkok. Pengajaran dilakukan dengan menggunakan bahasa Tiongkok Tjeng-im sebagai bahasa pengantarnya. Pa Hoa menggunakan bahasa pengantar Tjeng-im, dikarenakan orang-orang Tionghoa Batavia berasal dari macam-macam golongan dan bahasa Tjeng-im merupakan bahasa yang mudah dipelajari serta dimengerti. Pada tahun 1925 sekolah THHK adalah sekolah swasta trilingual pertama, yaitu bahasa Tionghoa, Inggris, dan Belanda. Mata pelajaran yang diberikan juga bermacam-macam, membuat murid-murid di THHK tersebut lebih mengeksplor semua yang ada dalam dirinya. Namun sayangnya, sekolah Tionghoa ini tidak memiliki sekolah dengan jenjang yang lebih tinggi, sehingga anak-anak lulusan Pa Hoa yang ingin melanjutkan sekolahnya harus melanjutkan ke Negara Tiongkok.

Pendirian sekolah Tionghoa tidak hanya terjadi di Batavia, umat Klenteng Boen Bio Surabaya juga mendirikan sebuah gedung sekolah yang setingkat dengan sekolah dasar bagi anak-anak Tionghoa. Mereka membangun gedung tersebut di belakang Klenteng yang merupakan dahulunya tanah milik Klenteng Boen Tjiang Soe. Gedung sekolah yang dibangun diresmikan pada 16 Juli 1907 dan diberi nama Tiong Hoa Hak Hauw (THHH). Pada tanggal 30 Agustus 1907 mereka mengganti nama sekolah tersebut menjadi Tiong Hoa Hak Tong (THHT) yang akhirnya dikenal dengan nama Tiong Hoa Hwee Koan Kapasan (THHK Kapasan). Pergantian nama tersebut menunjukkan bahwa pada awalnya, sekolah itu lebih fokus pada pengajaran moral dan etika. Namun ketika mereka mulai merasakan pentingnya pendidikan di samping pengajaran moral dan etika mereka kemudian mengganti nama sekolah menjadi THHT.

Pergantian nama dari THHT menjadi THHK juga menunjukkan adanya pengaruh keberhasilan THHK di Batavia yang mempunyai organisasi khusus untuk mengurus sekolah bagi anak-anak Tionghoa. Selain terpengaruh oleh sistem THHK di Batavia, adanya persamaan tujuan yaitu untuk memajukkan adat istiadat serta budaya Tionghoa menurut ajaran Kong Hu Chu membuat organisasi ini juga sering mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membicarakan permasalahan organisasi atau masalah yang dihadapi orang-orang Tionghoa dan mengumpulkan buku-buku yang berguna.

Meskipun terilhami dari THHK Batavia, THHK Kapasan berdiri sendiri tanpa adanya campur tangan dari THHK Batavia. Hal tersebut dibuktikan dengan digunakannya bahasa Hokkian sebagai bahasa pengantar pada THHK Surabaya, sedangkan THHK Batavia menggunakan bahasa Tjeng-im sebagai bahasa pengantar. Pemakaian bahasa Hokkian sebagai bahasa pengantar disebabkan karena sebagian besar penduduk Tionghoa di Surabaya berasal dari suku Hokkian.

Daftar Pustaka

Agustinus, Michael. 2012. “Dari Nasionalisme Cina Hingga Indoesierschap: Pemikiran Koen Hian Tentang Kedudukan Orang Tionghoa di Indonesia (191-1951)”. Skripsi, Depok: Universitas Indonesia.

Darini, Ririn., 2008. “Nasionalisme Etnis Tionghoa Di Indonesia”, Jurnal Mozaik Ilmu Sosial dan Humaniora 4 Vol 1. No. 12, hlm. 6.

Darmayanti, S. A., Tidak diketahui Tahun, “Peranan Organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) Dalam Bidang Pendidikan di Batavia Tahun 1900-1908”. dalam artikel, hlm. 6.

Devi ISR, Shinta. 2005, Boen Bio:Benteng Terakhir Umat Khonghucu. Surabaya: JP Books.

Onghokham. 2005. Terjadinya Suatu Minoritas: Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.

Purcell, Victor. 1987. The Chinese In Southeast Asia. London: Oxford University.

Suparman, T., Leo Agung. 2012. Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Ombak.

Tan, Mely G. 2008. Etnis Tionghoa Di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor.

 

Ditulis oleh: Muhammad Sadam Khadafi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *