Lebih Panas! Pemilihan Wapres 93’ Jadi Ajang Judi.

Pemilihan wapres tahun 1993 menujukkan adanya wilayah yang tidak bisa dijangkau presiden dan pertaruhan wapres yang menjadi ajang judi di Indonesia

Setelah berbulan-bulan menanti kepastian dari koalisi sebelumnya ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa, Abdul Muhaimin Iskandari memutuskan untuk bermanuver politik dan merubah haluannya untuk dipasangkan dengan Anies Baswedan. Pemilihan Cak Imin sebagai cawapres adalah deklarasi pertama mengingat partai-partai lainnya belum menentukan cawapres untuk capres yang sudah diusungnya.

Permasalahan cawapres ini menjadi sangat pelik mengingat ada kontrak politik dan konflik kepentingan antar partai pendukung, rasanya pemilihan capres lebih mudah dilakukan daripada pemilihan cawapres. Pola-pola seperti ini seringkali terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya baik di tahun 2004 maupun 2009, dimana pemilihan posisi cawapres selalu diwarnai drama kepentingan kekuatan-kekuatan politik dalam koalisi. 

Nampaknya pola ini tidak hanya terjadi baru-baru ini, mengingat pada tahun 1993 pemilihan wapres untuk presiden terpilih—yaitu Soeharto—diwarnai dengan perang kepentingan antar kekuatan politik dalam fraksi-fraksi yang ada di MPR. Hal ini menjadi sangat menarik mengingat wajah orde baru yang kental dengan kontrol presiden ternyata penyimpan drama politik yang diluar kewenangan presiden.

“Jadi presiden dan wakil presiden tidak seperti sekarang. Sudah satu kapal, satu calon (pasangan) mencalonkan. Pakai kampanye, pakai duit, pakai bendera. Dulu tidak. Jadi memilih presiden dilaksanakan oleh tempat (lembaga) pengejawantahan rakyat dan wujud rakyat tertinggi, ya MPR. Nah setelah (presiden) ini terpilih, baru fraksi-fraksi di MPR mencari wapres,” ujar Try Sutrisno (wapres periode 1993-1998) di program “The Legend: Pengabdian Tanpa Batas Try Sutrisno” yang ditayangkan stasiun televisi metro tv.

Kutipan di atas menunjukkan stabilitas politik dalam pemilihan presiden namun dalam pemilihan wapres menjadi beban tersendiri bagi MPR yang didalamnya juga memiliki fraksi-fraksi yang mempunyai kepentingan dan tujuan-tujuan yang saling bersebrangan sehingga pola ini sama dengan pola yang terjadi sekaramg dimana pemilihan cawapres tergantung dari kepentingan kekuatan politik. Salah satu pemilihan wapres paling panas pada masa orde baru yaitu pemilihan wapres ke-6 yaitu Try Sutrisno, pemilihan ini diwarnai polemik kepentingan antar fraksi.

Pemilihan kandidat-kandidat cawapres ini menjadi beban tersendiri bagi MPR, mengingat setidaknya kekuatan-kekuatan dalam fraksi-fraksi partai politik harus bisa menerima dan tidak timbul konflik kepentingan yang berlebih. Pada tahun 1993 tugas ini diemban oleh “Tim Sebelas” yang dibentuk Presiden Soeharto pada tahun 1992 untuk memilih kandidat wapres setelah Letnan Jenderal TNI (Purn.) H. Soedharmono, SH. Tim ini berisikan perwakilan-perwakilan dari setiap fraksi yang ada di MPR.

Sebenarnya jalan Jendral TNI (Purn.) H. Try Sutrisno untuk menjadi wapres sangat ringan mengingat ia adalah mantan ajudan soeharto pada 1974-1978 namun Fraksi Karya Pembangunan (F-KP, kini partai Golkar) sebagai pemenang pemilu 1992 mengusulkan nama Soedharmono kembali dan Menristek BJ Habibie. Ada sebuah gerakan yang ingin menyingkirkan dominansi kekuatan Golkar (F-KP) pada waktu itu, salah satu kekuatan yang bisa menyaingi Golkar adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dimana F-ABRI diisi oleh anak buah dari Jenderal TNI (Purn.) Leonardus Benyamin Moerdani mentan panglima ABRI yang juga aktif dalam dunia intelejen.

Pemilihan Umar Wirahadikusumah dan Soedharmono sebagia wapres tidak terganjal hal apapun karena  kekuatan politik yang ada pada waktu ini memiliki satu suara, namun saat pemilihan Try sebagai wapres fraksi-fraksi ini mulai menentang satu suara yang biasanya dikomandani oleh Golkar (F-KP). Pencalonan Try sebagai wapres diwarnai dengan kekhawatiran adanya interupsi dari kekuatan politik yang ada di MPR. Dikutip dari majalah Detik yang terbit mei 1993 menjelaskan Benny tidak secara frontal mengatakan gangguan SU-MPR datang darinya, ia malah mengingatkan bisa saja gangguan datang dari dalam, pencalonan Try berarti bangkitnya kembali kekuatan F-ABRI yang sebelumnya tidak memiliki kontrol ke Golkar

Kekuatan politik non militer tidak mudah dikendalikan, pendapat Menko Polhukam Sudomo menujukkan bahwa Try tidak mudah diterima kekuatan politik selain ABRI apalagi tambahnya pencalonan Try belum dikonsultasikan dengan presiden terpilih. Satu jalan ditutup jalan lain dibuka, jalan Try menuju posisi wapres malah datang dari tokoh-tokoh agama. Saleh Al-Jufri, ketua Cendikiawan Muslim Al-Falah, Surabaya bersama tokoh-tokoh agama di Jatim mendukung pencalonan Try sebagai wapres.

Pemilihan wapres menjadi seseru itu saat bursa pencalonan dikantongi golkar, bahkan hal ini mengalahkan event judi pertandingan liga italia antara AC Milan-Sampdoria (28/2) yang membuat penjudi Glodok mengeluarkan uangnya untuk bertaruh siapa wapres selanjutnya, sebuah fenomena menarik bahwa ajang pemilihan wapres diwarnai perjudian dan taruhan yang sama panasnya. Beberapa berita di majalah Detik tahun 1993 juga mengatakan pertaruhan siapa wapres selanjutnya, diwarnai perdebatan antara sesama politisi.

Berita selengkapnya bisa di baca di majalah detik tahun 1993, arsip Medayu Agung Surabaya

Ditulis Oleh : Ian Iradatillah M. (Mahasiswa MBKM di Perpustakaan Medayu Agung dari Universitas Negeri Malang)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *