Tionghoa Tulungagung: Aktivitas Keagamaan Klenteng Tjoe Tik Kiong Tahun 1865-1986

Masyarakat Tionghoa di Indonesia bukan merupakan minoritas yang homogen. Dari sudut budaya, orang Tionghoa terbagi atas peranakan dan totok. Peranakan adalah orang Tionghoa yang telah tinggal lama di Indonesia dan umumnya mereka sudah berbaur dengan rakyat pribumi dan mampu berbahasa Indonesia. Totok adalah masyarakat Tionghoa yang merupakan golongan pendatang dan umumnya tinggal di Indonesia masih dalam satu atau dua generasi dan masih menguasai bahasa Tionghoa. Keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia memang telah menyebar ke berbagai kota-kota besar dan kota kecil sekalipun, hal ini berkaitan erat dengan aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh orang Tionghoa bersama penduduk lokal.

Aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh orang Tionghoa, telah membawa mereka sampai kepada Sungai Ngrowo yang ada di Tulungagung. Sungai Ngrowo merupakan jalur transportasi utama masyarakat lokal Tulungagung untuk melakukan perdagangan komoditi beras dan garam perkojan. Intensitas gelombang kedatangan etnis Tionghoa ke Tulungagung semakin meningkat setelah dibukanya jalur perdagangan lokal. Kebutuhan beras yang tinggi membuat orang-orang Tionghoa tertarik melakukan perdagangan dengan warga lokal Tulungagung. Jumlah penduduk etnis Tionghoa di Tulungagung sekitar tahun 1800-an telah mencapai lima persen dari warga lokal, secara otomatis mereka telah mempertimbangkan tempat ibadah yang nyaman dan aman untuk menghormati arwah leluhur dan sebagai kewajiban ibadah atas kepercayaan yang mereka anut. Inilah yang menjadi landasan didirikannya Klenteng (Tempat Ibadat Tri Dharma).

 

Sejarah  Berdirinya Klenteng Tjoe Tik Kiong (Tempat Ibadat Tri Dharma)

Klenteng Tjoe Tik Kiong merupakan satu-satunya Klenteng yang ada di Tulungagung yang awalnya didirikan karena kebutuhan dari penganut ajaran Tri Dharma sebagai tempat ibadah mereka. Keberadaan Klenteng ini awalnya diperkirakan berdiri pada tahun 1865, berada di kaki Gunung Bolo, desa Bolorejo, kecamatan Kauman Tulungagung. Peletakan batu pertama pendirian klenteng ini masih menjadi teka-teki, karena menurut salah satu umat dari Klenteng tersebut memprediksi bahwa keberadaan klenteng awalnya berada di sekitar kompleks Pasar Wage berdekatan dengan hotel tertua di Tulungagung (Hotel Panorama). Bangunan dari klenteng tersebut, dahulu, menyerupai bangunan pendopo sederhana, bekas bangunannya masih dapat ditemukan sampai saat ini. Perdebatan mengenai lokasi awal berdirinya Klenteng ini lambat laun mulai dihilangkan karena buku catatan mengenai sejarah klenteng telah dikeluarkan. Buku tersebut menjelaskan bahwa awal mula Klenteng didirikan pada tahun 1865, namun untuk lokasi spesifiknya belum jelas, pendiri pertama dari klenteng tersebut bernama Liem Sian Bo.

Pada tahun 1905, dilakukan pemindahan lokasi Klenteng ke Jalan WR. Supratman No. 10 Tulungagung. Bangunan klenteng menempati tanah seluas 3941 M2. Alasan pemindahan klenteng ini, karena daerah Jalan WR. Supratman berdekatan dengan Sungai Ngrowo dan pusat kota, jadi tempat tersebut dirasa sangat strategis untuk dijadikan sebagai pemukiman dan tempat perniagaan. Sejak pemindahannya tahun 1905, klenteng mengalami perubahan yang dinamis sampai pada tahun 1967, bertepatan dengan dikeluarkannya kebijakan asimilasi oleh pemerintah Orde Baru, nama klenteng harus diubah menjadi Tempat Ibadat Tri Dharma, sesuai dengan kesepakatan tiga unsur ajaran (Buddha, Taois, dan Konfusius). Pada tahun 1979, Tempat Ibadat Tri Dharma (klenteng) mengalami proses pemugaran kembali karena pada tahun-tahun sebelumnya terkena genangan banjir.

Aktivitas Keagamaan pada Tempat Ibadat Tri Dharma Tjoe Tik Kiong (Klenteng)

Tempat Ibadat Tri Dharma (klenteng) merupakan milik simpatisan Tri Dharma. Pengurus klenteng dipilih oleh umat Tri Dharma secara periodik (3 tahun sekali) dengan sistem formatir. Pujaan utama di Tempat Ibadat Tri Dharma Tulungagung adalah Yang Suci Makco Dewi Tara Lautan. Beliau dipuja karena suka menolong umat manusia. Disamping pujaan utama tersebut, ada pula Tri Agung Nabi yang menjadi pujaan di TITD yang disebut sebagai Sanjiao Shengren, antara lain Nabi Kongzi (551 SM-479 SM), Nabi Laozi (600 SM-500 SM), Sakyamuni Buddha (563 SM-483 SM).

Upacara ritual yang dilakukan oleh umat Tri Dharma Tulungagung antara lain:

  1. Sembahyang Rutin diadakan pada Imlek tanggal 1 dan 15, disertai acara arisan.
  2. Perayaan Hari Lahir Yang Suci Dewi Tara Lautan, diadakan pada Imlek tanggal 23 bulan 3, disertai pertunjukan wayang potehi dan malam kesenian.
  3. Upacara Chao-duu, penyeberangan arwah leluhur ke Alam Sukhavati, diadakan pada Imlek bulan 7 sebelum tanggal 19.
  4. Sembahyang Zhongyuan Pudu, penyeberangan arwah yang tiada sanak-keluarga di dunia, diadakan pada Imlek tanggal 19 bulan 7, diselimgi acara dana paramitta.
  5. Sembahyang Hari Purnamasidi, dilakukan pada tanggal 15 bulan 8, deselingi acara malam kesenian.

Tempat Ibadat Tri Dharma Tjoe Tik Kiong, selain melakukan ritual wajib juga melakukan aktivitas laiinya antara lain:

  1. Acara senam pagi kesehatan
  2. Tari Naga dan Barongsai
  3. Senam line dance
  4. Geyong dan karaoke
  5. Pendidikan Bahasa Tionghoa

 

Kerja Sama Tempat Ibadah Tri Dharma dengan Klenteng Lain

Untuk menjalin kerja sama yang baik dan menjaga eksistensi keberadaan klenteng, ternyata Klenteng Tjoe Tik Kiong juga melakukan kerjasama dengan klenteng se Jawa Timur (Malang, Pasuruan, dan Surabaya). Kerja sama di sini lebih kepada kunjungan pengurus untuk melakukan ibadah atau hari perayaan bersama, selain itu juga mengundang para delegasi dari beberapa klenteng di Jawa Timur untuk mengikuti acara yang digelar oleh pihak Klenteng Tjoe Tik Kiong Tulungagung.

Daftar Referensi

BUKU

Imron Al Akhyar, Agus Ali, 2006. Muuqoddimah Ngrowo: Tutur Lisan Hingga Tutur Tulisan, Yogyakarta: Deepublish.

Anonim, Catatan harian Klenteng Tri Dharma.

Anonim, 1986. Tempat Ibadat TRIDHARMA TJOE TIK KIONG: Peringatan Genap 120 Tahun Pindah Ke Jalan WR. Supratman No. 10 Tulungagung, Buku Pribadi Klenteng, tidak untuk dijualbelikan.

Suryadinata, Leo, 2010. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia, Jakarta : Kompas

 

Ditulis oleh: Ani Nur Karimah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *